Kali ini aku mau share foto dan Biografi Sejarawan/Ilmuan Islam di Bidang Kesehatan.
Aslinya ada banyak tokoh-tokoh Ilmuan Islam di Bidang Kesehatan tapi aku share 5 tokoh sesuai tugas aku. Berikut tokoh-tokohnya:
1. Abu Al Zahraw Filosofi abu al zahraw (Penemu Gips Era Islam)
Abu Al Zahrawi merupakan seorang dokter, ahli bedah, maupun
ilmuan yang berasal dari Andalusia. Dia merupakan penemu asli dari teknik
pengobatan patah tulang dengan menggunakan gips sebagaimana yang dilakukan pada
era modern ini . Sebagai seorang dokter era kekalifahan, dia sangat berjasa
dalam mewariskan ilmu kedokteran yang penting bagi era modern ini.Al Zahrawi
lahir pada tahun 936 di kota Al Zahra yaitu sebuah kota yang terletak di dekat
Kordoba di Andalusia yang sekarang dikenal dengan negara modern Spanyol di
Eropa .Kota Al Zahra sendiri dibangun pada tahun 936 Masehi oleh Khalifah Abd
Al rahman Al Nasir III yang berkuasa antara tahun 912 hingga 961 Masehi.
Ayah
Al Zahrawi merupakan seorang penguasa kedelapan dari Bani Umayyah di Andalusia yang
bernama Abbas . Al Zahrawi selain termasyhur sebagai dokter yang hebat juga
termasyhur karena sebagai seorang Muslim yang taat. Dalam buku Historigrafi
Islam Kontemporer, seorang penulis dari perpustakaan Viliyuddin Istanbul Turki
menyatakan Al Zahrawi hidup bagaikan seorang sufi. Kebanyakan dia melakukan
pengobatan kepada para pasiennya secara cuma-cuma. Dia sering kali tidak
meminta bayaran kepada para pasiennya. Sebab dia menganggap melakukan
pengobatan kepada para pasiennya merupakan bagian dari amal atau sedekah. Dia
merupakan orang yang begitu pemurah serta baik budi pekertinya .
Selain
membuka praktek pribadi, Al Zahrawi juga bekerja sebagai dokter pribadi
Khalifah Al Hakam II yang memerintah Kordoba di Andalusia yang merupakan putra dari
Kalifah Abdurrahman III (An-Nasir). Khalifah Al Hakam II sendiri berkuasa dari
tahun 961 sampai tahun 976. Salah satu sumbangan pemikiran Al Zahrawi yang
begitu besar bagi kemajuan perkembangan ilmu kedokteran modern adalah
penggunaan gips bagi penderita patah tulang maupun geser tulang agar tulang
yang patah bisa tersambung kembali. Sedangkan tulang yang geser bisa kembali ke
tempatnya semula. Tulang yang patah tersebut digips atau dibalut semacam semen
.
Dalam
sebuah risalahnya, dia menuliskan, jika terdapat tulang yang bergeser maka
tulang tersebut harus ditarik supaya kembali tempatnya semula. Sedangkan untuk
kasus masalah tulang yang lebih gawat, seperti patah maka harus digips.Untuk
menarik tulang lengan yang bergeser, Al Zahrawi menganjurkan seorang dokter
meminta bantuan dari dua orang asisten. Kedua asisten tersebut bertugas
memegangi pasien dari tarikan .Kemudian lengan harus diputar ke segala arah
setelah lengan yang koyak dibalut dengan balutan kain panjang atau pembalut yang
lebih besar. Sebelum dokter memutar tulang sendi sang pasian, dokter tersebut
harus mengoleskan salep berminyak ke tangannya. Hal ini juga harus dilakukan
oleh para asisten yang ikut membantunya dalam proses penarikan. Setelah itu
dokter menggerakan tulang sendi pasien dan mendorong tulang tersebut hingga
tulang tersebut kembali ke tempatnya semula. Salah satu karya fenomenal Al
Zahrawi merupakan Kitab Al-Tasrif. Kitab tersebut berisi penyiapan aneka
obat-obatan yang diperlukan untuk penyembuhan setelah dilakukannya proses
operasi.
Dalam
penyiapan obat-obatan itu, dia mengenalkan tehnik sublimasi. Kitab Al Tasrif
sendiri begitu populer dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa oleh
para penulis. Terjemahan Kitab Al Tasrif pernah diterbitkan pada tahun 1519
dengan judul Liber Theoricae nec non Practicae Alsaharavii. Salah satu risalah
buku tersebut juga diterjemahkan dalam bahasa Ibrani dan Latin oleh Simone di
Genova dan Abraham Indaeus pada abad ke-13. Salinan Kitab Al Tasrif juga juga
diterbitkan di Venice pada tahun 1471 dengan judul Liber Servitoris. Risalah
lain dalam Kitab Al Tasrif juga diterjemahkan dalam bahasa Latin oleh Gerardo
van Cremona di Toledo pada abad ke-12 dengan judul Liber Alsaharavi di
Cirurgia. Dengan demikian kitab karya Al Zahrawi semakin termasyhur di seluruh
Eropa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya karya Al Zahrawi tersebut bagi
dunia. Kitabnya yang mengandung sejumlah diagram dan ilustrasi alat bedah yang
digunakan Al Zahrawi ini menjadi buku wajib mahasiswa kedokteran di berbagai kampus-kampus.Al
Zahrawi menjadi pakar kedokteran yang termasyhur pada zamannya. Bahkan hingga
lima abad setelah dia meninggal, bukunya tetap menjadi buku wajib bagi para
dokter di berbagai belahan dunia. Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
kedokterannya masuk dalam kurikulum jurusan kedokteran di seluruh Eropa.
(di ambil pada tanggal: 30 April 2020, 13.12)
2. Ibnu Sina (Father of Doctor)
Ibnu Sina atau yang lebih dikenal dunia Barat dengan nama
Avicenna mempunyai nama lengkap Abu Ali al-Huseyn bin Abdullah bin Hasan Ali
bin Sina. Julukannya adalah al-Ra’s (puncak gunung pengetahuan). Menurut Ibnu
Khallikan, Al-Qifti, dan Bayhaqi, Ibnu Sina lahir pada bulan bulan Shafar 370
H/ Agustus 980 M, di desa Afsanah, Bukhara, Uzbekistan. Ayahnya, ‘Abdullah dan
Sitarah, ibunya, merupakan keturunan Persia, karena itu ketika Ibnu Sina masih
remaja dia sering menulis puisi dan essai dalam bahasa Persia.
Keluarga Ibnu Sina bisa dikatakan keluarga yang mampu.
Ayahnya diangkat menjadi gubernur di sebuah distrik di Bukhara, ketika masa
pemerintahan penguasa Samaniyah, Nuh II
bin Mansyur. Berangkat dari keluarga yang mampu, orang tua dari Ibnu Sina
berusaha memberi anaknya pendidikan terbaik. Ayah Ibnu Sina merupakan seorang
muslim dari sekte Isma’ili (Syiah). Rumahnya merupakan pusat aktivitas sarjana,
dan ulama masyur pada masanya. Mereka banyak melakukan aktivitas diskusi
membahas berbagai permasalahan, dari diskusi-diskusi inilah Ibnu Sina memahami
pengetahuan yang luas.
Ibnu Sina memang telah memperlihatkan kecerdasan yang luar
biasa sejak kecil. Selain mempunyai kemampuan analisa berpikir yang tajam, Ibnu
Sina juga dikenal mempunyai daya ingat yang sangat kuat. Orang tua Ibnu Sina
mulai memberikan pendidikan agama dan logika elementer sejak Ibnu Sina masih
berusia 5 tahun. Pada usia 10 tahun, Ibnu Sina telah hafal al-Qur’an. Dia juga
belajar fikih, dan ilmu-ilmu syariat. Tidak hanya mempelajari ilmu agama, setelah menguasai ilmu
teologi Ibnu Sina mulai terjun ke dunia filsafat hingga umur 16 tahun. Ibnu
Sina juga berguru kepada Abu Abdullah An-Naqili, dan belajar Kitab Isaghuji
dalam ilmu logika dan berbagai kegiatan Euklides dalam bidang matematika.
Setelah itu, dia belajar secara otodidak dan menekuni matematika hingga dia
berhasil menguasai buku Almagest karangan Ptolemaeus serta menguasai disiplin
ilmu pengetahuan alam. Sering sekali soal-soal ilmiah yang tidak dapat
diselesaikan oleh gurunya, mampu dia selesaikan.
Semangat untuk belajar Ibnu Sina tidak berhenti di bidang
teologi dan matematika saja, karena dia lalu mempelajari ilmu kedokteran kepada
gurunya, Abu Manshur al-Qamari, penulis kitab Al-Hayat Wa al-Maut, dan Abu
Sahal Isa bin Yahya al-Jurjani, penulis ensiklopedia kedokteran Al-Kitab
Al-Mi’ah Fi Shina’atih Thib. Ibnu Sina akhirnya menguasai ilmu kedokteran dalam
waktu satu setengah tahun. Tidak dapat dipungkiri Ibnu Sina merupakan pribadi
yang bijaksana, dia tidak membuang waktu masa mudanya untuk hal sia-sia, dia
selalu memanfaatkan waktunya untuk belajar
berbagai ilmu hingga dia menguasainya. Tidak mengherankan memasuki
usia 16 tahun, Ibnu Sina telah menjadi pusat perhatian para dokter
sezamannya. Mereka sering menemuinya untuk berdiskusi perihal penemuan dalam
bidang kedokteran. Pada usia yang sama, dia dapat menyembuhkan penyakit yang
diderita sultan Samaniyah, Nuh bin Manshur (976-997), sehingga dia diberi hak
istimewa untuk menggunakan perpustakaan besar milik raja.
Dianugerahi dengan kemampuan luar biasa untuk menyerap dan
memelihara pengetahuan, ilmuwan muda dari Persia ini membaca seluruh buku-buku
di perpustakaan itu , hingga akhirnya berhasil menguasai semua ilmu yang ada
pada masanya, sekalipun dia lebih menonjol dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Memasuki usia 21 tahun, Ibnu Sina mulai menulis karya-karya
monumental di berbagai bidang keilmuwan, dengan karya pertamanya berjudul
Al-Majmu’u (ikhtisar), yang memuat berbagai ilmu pengetahuan umum. Ibnu Sina tidak pernah berhenti membaca serta tidak pernah
bosan menulis buku. Dia memang dikenal kuat memikul tanggung jawab ilmuih dan
sering tidak tidur malam hanya karena membaca dan menulis. Selain itu, Ibnu
Sina tidak mengambil upah dalam mengobati orang sakit. Bahkan dia banyak
bersedekah kepada fakir miskin sampai akhir hayatnya.
Ibnu Sina wafat di Hamdzan, Persia pada tahun 428 H (1037 M)
dalam usianya yang ke-58 tahun. Dia wafat karena terserang penyakit usus besar.
Selama masa hidupnya Ibnu Sina memberikan sumbangan luar biasa terhadap
kemajuan keilmuwan. Pemikiran-pemikiran Ibnu Sina di berbagai disiplin ilmu
banyak diadopsi oleh ilmuwan masa setelahnya, tidak hanya oleh ilmuwan muslim
tetapi juga ilmuwan Barat banyak yang mengadopsi pengetahuan dari karya-karya
Ibnu Sina. Dalam rangka memperingati 1000 tahun hari kelahirannya, melalui
event Fair Millenium di Teheran pada tahun 1955, Ibnu Sina dinobatkan sebagai
“Father of Doctor” untuk selama-lamanya.
(di ambil pada tanggal 30 April 2020, 13.22)
3. Ibnu Nafis (Bapak Fisiologi Sirkulasi)
Ibn al-Baytar lahir di kota Malaga Andalausia (kini Spanyol) pada akhir abad ke-12, yaitu tahun 1197. Ia belajar ilmu botani kepada seorang ahli botani Malaga, Abu al-Abbas al-Nabati. Kelak mereka bekerja sama mengumpulkan tanaman di sekitar Spanyol. Perlu diketahui bahwa Al-Nabati merupakan ilmuwan botani luar biasa. Ia dikenal sebagai mengembang awal metode ilmiah, orang pertama yang memperkenalkan teknik pengujian secara empiris dan eksperimental, pengidentifikasi dan deskripsi berbagai materi obat, serta pembuat laporan dan observasi untuk memverifikasi bermacam tanaman obat yang sebelumnya ditemukan oleh orang lain. Pendekatan al-Nabati demikian inilah kelak diadopsi oleh Ibn al-Baitar.
3. Ibnu Nafis (Bapak Fisiologi Sirkulasi)
Nama lengkap Ibnu Nafis adalah al-Din Abu al-Hasan Ali Ibn
Abi al-Hazm al-Qarshi al-Dimashqi.
Beliau adalah seorang ilmuan Arab yang penelitiannya pernah dilupakan
orang 700 tahun lamanya. Ibnu Nafis lahir di Damaskus, Suriah (Syria) pada
tahun 1213 M. Selain itu, ia juga mempunyai nama panggilan lain, yaitu The
Second Avicenna (Ibnu Sina Kedua). Kiprahnya di dunia kedokteran membuatnya disebut sebagai
Ibnu Sina kedua. Ibnu Sina adalah dokter pertama yang menjelaskan tentang ilmu
anatomi tubuh. Selama beberapa abad, bukunya yang berisi teori anatomi tubuh
dijadikan paduan dunia medis Eropa. Sedangkan Ibnu Nafis lahir 200 tahun
sesudahnya. Setelah lulus dari Perguruan Tinggi Medis Bimaristan
an-Noori Damaskus, Ibnu Nafis pindah ke Mesir untuk bekerja di Rumah Sakit Al-Nassiri
pada tahun 1236 M. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi kepala dokter
di Rumah Sakit Al-Mansuri sekaligus menjadi dokter pribadi Sultan pada masa
itu.
Sebagai seorang dokter, Ibnu Nafis membaca banyak buku
panduan medis dari pendahulunya, yang masih berpedoman pada Teori Hippocrates,
Galen, dan Ibnu Sina. Namun, Ibnu Nafis menemukan beberapa kejanggalan. Ia lalu
menuliskan analisisnya dalam buku yang berjudul “Commentary on the Anatomy of
Canon of Avicenna” atau “Komentar Tentang Ilmu Anatomi Tubuh dari Kitab
Canon-Ibnu Sina”. Salah satu dari hasil pengamatannya adalah penemuan dua
pembuluh darah di dalam tubuh manusia, yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh
darah vena. Sekarang ini, telah dikenal empat macam pembuluh darah. Ibnu Nafis menemukan kejanggalan pada teori Galen tentang
peredaran darah di dalam tubuh manusia. Teori tersebut menerangkan bahwa darah
mengalir dari bilik kanan jantung ke bilik kiri jantung melalui pori-pori yang
terdapat pada katup jantung.
Sebaliknya, Ibnu Nafis meyakini “Bahwa darah yang berasal
dari bilik kanan jantung pasti mengalir ke bilik kiri jantung, namun tidak ada
penghubung antara kedua bilik tersebut. Katup jantung tidak berlubang dan
berpori sama sekali. Selain itu, Ibnu Nafis juga menambahkan bahwa darah dari
bilik kanan jantung mengalir melalui pembuluh arteri ke paru-paru. Proses
selanjutnya adalah darah tersebut bercampur dengan udara dan mengalir melalui
pembuluh vena ke bilik kiri jantung”. Teori Galen menjadi pedoman dunia medis
dari tahun 100 - 1.500.
Menurut Nafis, pendapat Ibnu Sina dalam kitabnya Al-Qonuun
yang menyebutkan bahwa jantung terdiri dari 3 bagian tidaklah tepat. Jantung,
kata Nafis, hanya memiliki 2 bilik saja, yakni kiri dan kanan. Antara keduanya
tidak ada pori-pori apa pun. Bahkan dinding yang memisahkannya sangat tebal. Analisis itu sekaligus menjadi penemuan Ibnu Nafis terhadap
sistem peredaran darah kecil. Yaitu peredaran darah dari jantung menuju
paru-paru dan kembali lagi ke jantung. Sayangnya, penemuan itu tidak tersebar
hingga ke Eropa, sehingga dunia medis masih menggunakan teori Galen sampai
dengan abad ke-15.
Sekitar 300 tahun dunia kedokteran sesat, hingga pada tahun
1.500-an. Dunia mengakui William Harvey dari Eropa sebagai penemu sistem
peredaran darah. William Harvey menuliskan sistem peredaran secara lengkap dan
terperinci. Diduga Harvey dan beberapa ilmuan pendahulunya pernah membaca hasil
temuan Ibnu Nafis. Sementara buku tentang sistem peredaran kecil temuan Ibnu
Nafis yang terlupakan orang selama ratusan tahun, baru ditemukan pada abad
ke-20.
Pada tahun 1924, seorang dokter Mesir bernama Muhyi Al-Din
Altawi menemukan catatan sistem peredaran darah karya Ibnu Nafis di
Perpustakaan Negara Prussian-Berlin. Dari sanalah disimpulkan bahwa sesungguhnya Ibnu Nafis telah
menemukan sistem peredaran darah, jauh sebelum William Harvey menemukannya.
Karena itulah, akhirnya dunia mengakui bahwa penemu sistem peredaran darah
kecil bukanlah William Harvey, melainkan Ibnu Nafis.
(di ambil pada tanggal 30 April 2020, 23.04)
4. Ibn al-Baytar ( Bapak Botani)
Ibn al-Baytar lahir di kota Malaga Andalausia (kini Spanyol) pada akhir abad ke-12, yaitu tahun 1197. Ia belajar ilmu botani kepada seorang ahli botani Malaga, Abu al-Abbas al-Nabati. Kelak mereka bekerja sama mengumpulkan tanaman di sekitar Spanyol. Perlu diketahui bahwa Al-Nabati merupakan ilmuwan botani luar biasa. Ia dikenal sebagai mengembang awal metode ilmiah, orang pertama yang memperkenalkan teknik pengujian secara empiris dan eksperimental, pengidentifikasi dan deskripsi berbagai materi obat, serta pembuat laporan dan observasi untuk memverifikasi bermacam tanaman obat yang sebelumnya ditemukan oleh orang lain. Pendekatan al-Nabati demikian inilah kelak diadopsi oleh Ibn al-Baitar.
Setelah belajar pada al-Nabati, Ibnu al-Baytar belajar kepada
Ibn Al-Rumeyya, sehingga ia menguasai tiga bahasa sekaligus, Spanyol, Yunani,
dan Suriah. Berbekal kemampuan berbahasa inilah, ia mengadakan perjalanan ke
beberapa negara untuk mengembangkan ilmu yang diminatinya, botani. Dari
sinilah, al-Baitar pun lantas banyak berkelana untuk mengumpulkan beraneka
ragam jenis tumbuhan. Tetapi sebagaimana para ilmuwan lain, tidak hanya dua sosok
yang mempengaruhi sl-Baytar. Selain al-Nabati, sosok yang mempengaruhi
kreativitas ilmiah Ibn al-Baytar adalah Maimonides dan al-Ghafiqi. Penelitian
dan pemikiran keduanya menginspirasinya untuk membuat terobosan-terobosan besar
dalam ilmu pengetahuan di kemudian hari. Di samping itu, kelak juga ada banyak
generasi ilmuwan setelahnya yang menimba pengaruh darinya, baik ilmuwan Timur
maupun Barat, seperti Ibn Abi Usaybi’a, Amir Daulat dan Andrea Alpago.
Pada 1219, Ibn al-Baitar meninggalkan Málaga dan mengembara
ke negeri-negeri Muslim di Timur Tengah untuk mengumpulkan tanaman. Dia
melakukan perjalanan dari pantai utara Afrika sampai Anatolia. Di dalam
perjalanannya, konon ia mengunjungi Konstantinopel, Bugia, Tunisia, Tripoli,
Barqa dan Adalia. Dari tahun 1224, al-Baytar diangkat sebagai kepala ahli
tanaman obat Kekhalifahan Ayyubiyah, al-Kamil. Pada 1227 al-Kamil mengembangkan
wilayah kekuasaannya ke Damaskus (kini Suriah), dan Ibn al-Baitar menemaninya
di sana. al-Kamil memberinya kesempatan untuk mengumpulkan tanaman obat di
Suriah. Tidak puas hanya di Suriah, Ibn al-Baytar pergi ke Arabia dan Palestina
untuk mengembangkan pengumpulan dan penelitian tanaman obatnya.
Akhirnya, ia
menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1248 di Damaskus dan meninggalkan
risalah-risalah penting dalam wilayah botani dan kedokteran. Dunia mengenangnya
sebagai seorang yang paling berjasa dalam bidang ilmu tumbuh-tumbuhan, dan
berpengaruhpenting dalam perkembangan ilmu botani.
(di ambil pada tanggal 30 April 2020, 23.09)
5. Ar-Razi
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Persia: أبوبكر الرازي) atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat, merupakan salah
seorang pakar sains Iran terkemuka. Ia hidup antara tahun 864 – 930.M Ar-Razi
sejak muda telah mempelajari filsafat, kimia, matematika dan kesastraan. Dalam bidang kedokteran, ia berguru kepada Hunayn bin Ishaq
di Baghdad. Sekembalinya ke Teheran, ia dipercaya untuk memimpin sebuah rumah
sakit di Rayy. Selanjutnya ia juga memimpin Rumah Sakit Muqtadari di Baghdad.
Ar-Razi juga diketahui sebagai ilmuwan serbabisa dan dianggap sebagai salah
satu ilmuwan terbesar dalam Islam.
Ar-Razi
lahir pada tanggal 28 Agustus 865 Masehi dan meninggal pada tanggal 9 Oktober
925 Masehi. Nama Razi-nya berasal dari nama kota Rayy. Kota tersebut terletak
di lembah selatan jajaran Dataran Tinggi Alborz yang berada di dekat Teheran,
Iran. Di kota ini juga, Ibnu Sina menyelesaikan hampir seluruh karyanya.
Saat masih
kecil, ar-Razi tertarik untuk menjadi penyanyi atau musisi tetapi dia kemudian
lebih tertarik pada bidang alkemi. Pada umurnya yang ke-30, ar-Razi memutuskan
untuk berhenti menekuni bidang alkemi dikarenakan berbagai eksperimen yang
menyebabkan matanya menjadi cacat. Kemudian dia mencari dokter yang bisa
menyembuhkan matanya, dan dari sinilah ar-Razi mulai mempelajari ilmu
kedokteran. Dia belajar ilmu
kedokteran dari Ali ibnu Sahal at-Tabari, seorang dokter dan filsuf yang lahir
di Merv. Dahulu, gurunya merupakan seorang Yahudi yang kemudian berpindah agama
menjadi Islam setelah mengambil sumpah untuk menjadi pegawai kerajaan di bawah
kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mu’tashim.
Ar-Razi kembali
ke kampung halamannya dan terkenal sebagai seorang dokter di sana. Kemudian dia
menjadi kepala Rumah Sakit di Rayy pada masa kekuasaan Mansur ibnu Ishaq,
penguasa Samania. Ar-Razi juga menulis at-Tibb al-Mansur yang khusus
dipersembahkan untuk Mansur ibnu Ishaq. Beberapa tahun kemudian, ar-Razi pindah
ke Baghdad pada masa kekuasaan al-Muktafi dan menjadi kepala sebuah rumah sakit
di Baghdad.
Setelah kematian
Khalifan al-Muktafi pada tahun 907 Masehi, ar-Razi memutuskan untuk kembali ke
kota kelahirannya di Rayy, di mana dia mengumpulkan murid-muridnya. Dalam buku
Ibnu Nadim yang berjudul Fihrist, ar-Razi diberikan gelar Syaikh karena dia
memiliki banyak murid. Selain itu, ar-Razi dikenal sebagai dokter yang baik dan
tidak membebani biaya pada pasiennya saat berobat kepadanya.
(di ambil pada tanggal 30 April 2020, 23.38)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar